Follow Aku yuk . . =3

Baca juga yg ini. .

Senandung di Titian Angin
Jika menulis akan membuatmu lebih baik, maka tulislah. Tulis dengan segala yang layak tertulis, dengan segala yang ingin kau tulis. Untuk dirimu sendiri..

Mengenai Saya

Foto saya
Tentang kecintaan yang sudah habis ku reguk dalam manisnya sebuah angan-angan...

Senin, 18 Juni 2012

Cerpen: Pelangi Tanpa Hujan (#Part 1)

 

*Masihkah ada padamu
Sedikit bayang diriku…

Belum. Masih belum ku lepas secarik foto yang sudah mulai usang dalam genggam ku. Di baliknya sebaris ejaan menyayat sesal tertulis bebas dengan gurat tinta merah yang bisa ku pastikan telah di tulis sejak dua tahun silam. Iya, dua tahun silam saat foto itu di cetak olehnya dan aku menjadi saksi dia menulis sesuatu di balik foto yang didalamnya berpose sepasang remaja saling merangkul penuh riang. Aku dan dia.

***

Hari-hari sebelum itu, detik-detik sebelum itu, aku hanyalah seorang aku. Dan dia hanyalah seorang dia. Aku, dia dan kehidupan berjalan selayaknya hal yang biasa. Hingga masa berkisar mendekati hari itu. Saat waktu mulai mengguratkan takdir aku dan dia selayak karib tempat menumpah rasa dan asa. Semakin hari, rasanya dunia semakin indah sampai akhirnya aku merasa kedekatan itu mulai membangunkan rasa ingin selalu bersama. Tanpa berani meyakini ada sesuatu yang mulai berbeda di antara kami. Sesuatu yang lambat laun berhasil menggoda ku untuk mengajaknya bersenang-senang menghabiskan waktu seharian penuh, dua tahun silam yang lalu.
            Hari itu adalah hari dimana aku bahagia berjalan di sampingnya. Hari dimana dunia penuh dengan canda tawa berdua. Dan hari dimana selembar foto yang saat ini ada dalam genggaman ku berhasil di cetak dan menjadi bukti hari itu kami sungguh bersenang-senang.
Dia meminta ku ikut serta mencetak foto itu sebelum mengantarnya pulang ke rumah. Sekilas, aku memperhatikan dia yang menulis sesuatu dengan pulpen merah di baliknya. Dengan sedikit rasa penasaran, aku berusaha mengintip apa yang tengah di tulisnya. Sayang, dia terlalu sigap menyelipkan foto tersebut di balik kantong jaket dan meraih lengan ku untuk diseret pulang.
            “Eza! Fotonya buat aku aja yah? Yuk pulang!” masih ku ingat binar mata dan senyum hangat wajahnya yang menghentikan sesaat semua kinerja tubuh ku dan mampu mengenyampingkan rasa penasaran ku tadi. Saat itulah aku  berani meyakini dan menyimpulkan satu hal bahwa aku dan dia, telah jatuh cinta.

            Akankah suatu saat
            Kau berubah pikiran
Dan kembali...

Malam usai berlalu. Meninggalkan kenang-kenang indah satu hari bersamanya kemaren. Pagi di SMA Wijaya pun merisaukan ku dengan debar-debar menanti kedatangannya. Harap-harap cemas aku menatap pintu kelas. Menunggu dengan perkiraan dia akan menyapa ku dengan kedekatan yang semakin indah. Aku ingin satu kelas menyadari aku dan dia yang semakin merekat, terlebih setelah kebersamaan kemaren yang ku rasa di luar batas sekedar teman.
“ciye, kemana elo semalem Za? Gue liat elo jalan sama Febby!” tidak terkelak lagi, suara lantang Dion menarik seluruh mata penghuni kelas di sambung dengan gemuruh riuh teman-teman menggoda ku. Entah kikuk, malu atau mungkin senang aku di permainkan keadaan. Yang jelas, aku hanya tersenyum simpul dan berusaha menjelaskan santai.
“biasa aja, Febby kan teman ku” seiring aku angkat bicara, seseorang memasuki kelas. Itu Febby yang melenggang menuju tempat duduknya, tanpa sekilas pun menatap ku. Usai menaruh tas, pun dia melarikan diri pada segerombol teman-temannya. Seperti tak ada keinginan mencari ku, setidaknya untuk memastikan kursi ku tidak kosong hari ini. Ku perhatikan wajahnya yang tampak biasa. Seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi. Selayaknya kebersamaan kemaren tidak seberarti yang ku bayangkan baginya. Apa aku salah? Salah menafsirkan hatinya? Salah mengartikan sikapnya? Salah jatuh hati padanya?
Sebelum lautan cinta ku selami semakin dalam, bukankah sebaiknya aku mundur dan kembali ke daratan? Tidak. Aku terlanjur jatuh hati padanya. Dan aku masih ingin mempertahankannya.
“Ada apa dengan dia?” begitu selalu tergumam sebelum ku lelap meninggalkan malam. Sosok gadis manis yang kemaren berhasil mencuri hati ku kini menjadi seorang yang biasa. Tidak lagi ku temukan sesuatu yang berarti di wajahnya. Kedekatan yang ku harapkan, tandas tanpa ku pahami apa yang terjadi. Tak lagi seperti dulu, dia hanya menyapa ku sesekali. Dan bagi ku sikapnya teramat hambar di depan ku. Jauh berbeda dengan keceriaannya saat bercengkrama bersama teman-temannya. Aku mengharapkan dia seperti dulu, ketika dia tak pernah ragu mendekati ku, membahas hal yang bahkan tidak begitu berarti. Aku mengharapkan semua itu, tanpa berani melakukan hal yang sama padanya.
Pengecutkah aku? Ya! Akulah lelaki pengecut. Aku takut untuk sekedar berkata “hai” padanya. Aku takut mengungkit tentang kedekatan pada hari itu dengannya. Aku takut berbicara padanya. Dan yang paling menyakitkan adalah saat aku menyadari bahwa aku takut untuk memulai. Meskipun pernah aku benar-benar yakin dia bisa mengartikan tatapan ku yang mencintainya. Dan aku pernah yakin mengartikan tatapannya yang juga mencintai ku. Seperti aku dan dia yang saling mengetahui isi hati satu sama lain, tapi tak ada yang berani memulai untuk menyatukannya.
Satu tahun berlalu, aku masih dengan cinta yang kadang yakin dan kadang ragu. Aku yakin dengan cinta ketika aku kembali bersitatap dengannya. Saat keadaan yang membuat kami berdua harus berbicara, aku menemukan kembali binar mata yang ku rindukan. Kedekatan yang dulu ku rasakan. Dan cinta yang dalam sesaat bergemuruh tanpa ragu. Namun dalam sekejap gemuruh itu usai saat kembali lagi jarak terbentang diantara aku dan dia.
Aku ragu saat aku tak lagi berbicara padanya. Aku semakin takut mendekatinya sejak sikapnya berubah. Aku takut menyimpulkan sendiri perasaannya. Terlebih melihat keakrabannya dengan teman-teman di kelas, tidak hanya perempuan  tapi juga laki-laki. Dia bisa sangat dekat dengan mereka, tapi anehnya dia tak lagi bisa sedekat itu dengan ku. Tidak setelah satu hari dimana kami jalan berdua. Aku takut jika pada nyatanya hanya aku yang menikmati cinta ini. Tidak dengan dia yang hanya melihat ku sepantar dengan teman-teman dekatnya. Mungkinkah? Jika memang mungkin, maka akulah yang terlalu melebih-lebihkan tentang dia.

Masihkah ada padamu
Sedikit cinta untukku
Akankah suatu saat
Kau kembali, kepadaku…

Inikah cinta? Sepertinya ini bukan cinta yang benar. Tibalah saat aku tak lagi betah mempertahankan cinta yang di tarik-ulur oleh alam. Jika memang dia mencintai ku, harusnya dia tidak akan membiarkan hati ku menjadi lebam biru. Menahan gusar cemburu saat  dia semakin dekat dengan teman-teman ku yang lain. Aku memang belum dewasa. Karena itu ku putuskan untuk berhenti menyimpan segalanya tentang dia. Berat memang, tapi begitu lebih baik daripada aku harus tersiksa dengan perasaan ku sendiri. Apalagi melihatnya mampu tertawa lepas bersama orang lain. Itu benar-benar membuat ku iri. Seolah dia tak lagi peduli aku yang sekuat tenaga membenahi rasa rindu ingin berada di sampingnya. Memang harusnya aku sudah menghapus rasa cinta ini sejak dulu. Bukankah sudah jelas, cinta terpendam ini takkan berbuah apa-apa.
Lambat laun, aku mulai mampu menutup mata untuk tidak memperhatikannya dan menarik diri menghindarinya. Hingga akhirnya aku merasa sudah terbentang jarak sangat jauh antara hati ku dengan hatinya meski pada kenyataan aku dan dia masih dalam lingkup satu kelas. Aku puas dengan usaha ku membungkam hati. Walau secuil cinta masih urung melenyapkan dirinya dalam mimpi yang mengusik ku di setiap malam. Aku berhasil. Berhasil membohongi dia dan diri ku.

***
 (Next to #Part 2>>)

Kamis, 14 Juni 2012

Puisi: Dunia Diam Karena Ku. .

Dibalik jeruji mencari ikhtisar
Menyamai langkah yang urung samar-samar
Pelan. .
Mulai ngilu dan memar
Pelan. .
Mulai hilang dan memudar
Indahnya dendang kalap nestapa
Saat dunia diam dan terluka
Saat dunia, ku genggam tanpa prakata. .

###