*Masihkah ada padamu
Sedikit bayang diriku…
Belum.
Masih belum ku lepas secarik foto yang sudah mulai usang dalam genggam ku. Di
baliknya sebaris ejaan menyayat sesal tertulis bebas dengan gurat tinta merah
yang bisa ku pastikan telah di tulis sejak dua tahun silam. Iya, dua tahun
silam saat foto itu di cetak olehnya dan aku menjadi saksi dia menulis sesuatu
di balik foto yang didalamnya berpose sepasang remaja saling merangkul penuh
riang. Aku dan dia.
***
Hari-hari
sebelum itu, detik-detik sebelum itu, aku hanyalah seorang aku. Dan dia hanyalah
seorang dia. Aku, dia dan kehidupan berjalan selayaknya hal yang biasa. Hingga
masa berkisar mendekati hari itu. Saat waktu mulai mengguratkan takdir aku dan
dia selayak karib tempat menumpah rasa dan asa. Semakin hari, rasanya dunia
semakin indah sampai akhirnya aku merasa kedekatan itu mulai membangunkan rasa
ingin selalu bersama. Tanpa berani meyakini ada sesuatu yang mulai berbeda di
antara kami. Sesuatu yang lambat laun berhasil menggoda ku untuk mengajaknya
bersenang-senang menghabiskan waktu seharian penuh, dua tahun silam yang lalu.
Hari itu adalah hari dimana aku
bahagia berjalan di sampingnya. Hari dimana dunia penuh dengan canda tawa
berdua. Dan hari dimana selembar foto yang saat ini ada dalam genggaman ku berhasil
di cetak dan menjadi bukti hari itu kami sungguh bersenang-senang.
Dia
meminta ku ikut serta mencetak foto itu sebelum mengantarnya pulang ke rumah.
Sekilas, aku memperhatikan dia yang menulis sesuatu dengan pulpen merah di
baliknya. Dengan sedikit rasa penasaran, aku berusaha mengintip apa yang tengah
di tulisnya. Sayang, dia terlalu sigap menyelipkan foto tersebut di balik
kantong jaket dan meraih lengan ku untuk diseret pulang.
“Eza! Fotonya buat aku aja yah? Yuk
pulang!” masih ku ingat binar mata dan senyum hangat wajahnya yang menghentikan
sesaat semua kinerja tubuh ku dan mampu mengenyampingkan rasa penasaran ku tadi.
Saat itulah aku berani meyakini dan
menyimpulkan satu hal bahwa aku dan dia, telah jatuh cinta.
Akankah
suatu saat
Kau berubah pikiran
Dan kembali...
Malam
usai berlalu. Meninggalkan kenang-kenang indah satu hari bersamanya kemaren.
Pagi di SMA Wijaya pun merisaukan ku dengan debar-debar menanti kedatangannya.
Harap-harap cemas aku menatap pintu kelas. Menunggu dengan perkiraan dia akan
menyapa ku dengan kedekatan yang semakin indah. Aku ingin satu kelas menyadari
aku dan dia yang semakin merekat, terlebih setelah kebersamaan kemaren yang ku
rasa di luar batas sekedar teman.
“ciye,
kemana elo semalem Za? Gue liat elo jalan sama Febby!” tidak terkelak lagi,
suara lantang Dion menarik seluruh mata penghuni kelas di sambung dengan
gemuruh riuh teman-teman menggoda ku. Entah kikuk, malu atau mungkin senang aku
di permainkan keadaan. Yang jelas, aku hanya tersenyum simpul dan berusaha
menjelaskan santai.
“biasa
aja, Febby kan teman ku” seiring aku angkat bicara, seseorang memasuki kelas.
Itu Febby yang melenggang menuju tempat duduknya, tanpa sekilas pun menatap ku.
Usai menaruh tas, pun dia melarikan diri pada segerombol teman-temannya.
Seperti tak ada keinginan mencari ku, setidaknya untuk memastikan kursi ku
tidak kosong hari ini. Ku perhatikan wajahnya yang tampak biasa. Seperti tak
pernah ada sesuatu yang terjadi. Selayaknya kebersamaan kemaren tidak seberarti
yang ku bayangkan baginya. Apa aku salah? Salah menafsirkan hatinya? Salah
mengartikan sikapnya? Salah jatuh hati padanya?
Sebelum
lautan cinta ku selami semakin dalam, bukankah sebaiknya aku mundur dan kembali
ke daratan? Tidak. Aku terlanjur jatuh hati padanya. Dan aku masih ingin
mempertahankannya.
“Ada
apa dengan dia?” begitu selalu tergumam sebelum ku lelap meninggalkan malam. Sosok
gadis manis yang kemaren berhasil mencuri hati ku kini menjadi seorang yang
biasa. Tidak lagi ku temukan sesuatu yang berarti di wajahnya. Kedekatan yang
ku harapkan, tandas tanpa ku pahami apa yang terjadi. Tak lagi seperti dulu,
dia hanya menyapa ku sesekali. Dan bagi ku sikapnya teramat hambar di depan ku.
Jauh berbeda dengan keceriaannya saat bercengkrama bersama teman-temannya. Aku
mengharapkan dia seperti dulu, ketika dia tak pernah ragu mendekati ku,
membahas hal yang bahkan tidak begitu berarti. Aku mengharapkan semua itu,
tanpa berani melakukan hal yang sama padanya.
Pengecutkah
aku? Ya! Akulah lelaki pengecut. Aku takut untuk sekedar berkata “hai” padanya.
Aku takut mengungkit tentang kedekatan pada hari itu dengannya. Aku takut
berbicara padanya. Dan yang paling menyakitkan adalah saat aku menyadari bahwa
aku takut untuk memulai. Meskipun pernah aku benar-benar yakin dia bisa
mengartikan tatapan ku yang mencintainya. Dan aku pernah yakin mengartikan
tatapannya yang juga mencintai ku. Seperti aku dan dia yang saling mengetahui
isi hati satu sama lain, tapi tak ada yang berani memulai untuk menyatukannya.
Satu
tahun berlalu, aku masih dengan cinta yang kadang yakin dan kadang ragu. Aku
yakin dengan cinta ketika aku kembali bersitatap dengannya. Saat keadaan yang
membuat kami berdua harus berbicara, aku menemukan kembali binar mata yang ku
rindukan. Kedekatan yang dulu ku rasakan. Dan cinta yang dalam sesaat
bergemuruh tanpa ragu. Namun dalam sekejap gemuruh itu usai saat kembali lagi
jarak terbentang diantara aku dan dia.
Aku
ragu saat aku tak lagi berbicara padanya. Aku semakin takut mendekatinya sejak
sikapnya berubah. Aku takut menyimpulkan sendiri perasaannya. Terlebih melihat
keakrabannya dengan teman-teman di kelas, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Dia bisa sangat dekat
dengan mereka, tapi anehnya dia tak lagi bisa sedekat itu dengan ku. Tidak
setelah satu hari dimana kami jalan berdua. Aku takut jika pada nyatanya hanya
aku yang menikmati cinta ini. Tidak dengan dia yang hanya melihat ku sepantar
dengan teman-teman dekatnya. Mungkinkah? Jika memang mungkin, maka akulah yang
terlalu melebih-lebihkan tentang dia.
Masihkah ada padamu
Sedikit cinta untukku
Akankah suatu saat
Kau kembali, kepadaku…
Inikah
cinta? Sepertinya ini bukan cinta yang benar. Tibalah saat aku tak lagi betah
mempertahankan cinta yang di tarik-ulur oleh alam. Jika memang dia mencintai
ku, harusnya dia tidak akan membiarkan hati ku menjadi lebam biru. Menahan
gusar cemburu saat dia semakin dekat
dengan teman-teman ku yang lain. Aku memang belum dewasa. Karena itu ku
putuskan untuk berhenti menyimpan segalanya tentang dia. Berat memang, tapi
begitu lebih baik daripada aku harus tersiksa dengan perasaan ku sendiri. Apalagi
melihatnya mampu tertawa lepas bersama orang lain. Itu benar-benar membuat ku
iri. Seolah dia tak lagi peduli aku yang sekuat tenaga membenahi rasa rindu
ingin berada di sampingnya. Memang harusnya aku sudah menghapus rasa cinta ini
sejak dulu. Bukankah sudah jelas, cinta terpendam ini takkan berbuah apa-apa.
Lambat
laun, aku mulai mampu menutup mata untuk tidak memperhatikannya dan menarik diri
menghindarinya. Hingga akhirnya aku merasa sudah terbentang jarak sangat jauh
antara hati ku dengan hatinya meski pada kenyataan aku dan dia masih dalam
lingkup satu kelas. Aku puas dengan usaha ku membungkam hati. Walau secuil
cinta masih urung melenyapkan dirinya dalam mimpi yang mengusik ku di setiap
malam. Aku berhasil. Berhasil membohongi dia dan diri ku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar